Laman

MENGASAH PEDULI, MERAJUT OPINI
www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - Selamat Datang di BLOG kami - www.subusadipun.blogspot.com

Jumat, 11 Maret 2011

Menepis Xenocentris Terhadap Jagat Seni

TEPATLAH bila fenomena xenocentrisme diletakkan sebagai issu sentral, lebih jauh lagi menukik pada xenocentrisme didalam jagat seni kita. Hal ini dimaksud sebagai cermin guna menangkap sebongkah permasalahan yang kini tengah akrab mewarnai sikap masyarakat terhadap setiap produk seni Indonesia. Potretnya meski samar namun telah nampak terungkap dari ketidak berdayaan perkembangan hasil seni dalam meraih penghargaan masyarakat yang pada lingkup ini bertindak selaku pemilik dan sekaligus penikmat seni tersebut.
Memahami makna sesungguhnya dari xenocentrisme adalah sebuah sikap bangsa didalam memandang produk bangsa lain lebih baik ketimbang yang dimiliki oleh bangsanya. Sentuhan sikap ini dirasakan atau tidak, yang pasti tetap melintas disetiap mata hati masyarakat. Wajarlah kalau pada bentangan permasalahan ini kita turut mengamini, bahwa telah tampak indikasi yang kuat masyarakat dihinggapi oleh sikap xenocentrisme. Seusai menyibak dan merentangkaitkan fenomen xenocentrisme khususnya terhadap produk seni. Tidak dinyana ternyata bahwa akibat sikap xenocentrisme ini, pada akhirnya mampu mengkondisikan suatu pengaruh yang maha dahsyat bagi terciptanya kemunduran penghargaan masyarakat terhadap karya seni. Gebrakan kedahsyatan tersebut masih pula mampu menggoyahkan kemapanan maupun keberhasilan karya seni Indonesia.
***
KECENDERUNGAN menganggap produk bangsa lain memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada produk seni bangsanya. Kecenderungan ini lahir berkat dan berkembang, berjalan seiringan dengan derasnya arus informasi dan globalisasi yang kian membumi.
Inilah barangkali merupakan salah satu garis merah yang membahayakan jagat seni kita. Membahayakan proses produk seni Indonesia yang tengah melangkah menuju suatu hasil yang menggembirakan. Masyarakat kita seakan-akan telah terjebak oleh ketidak berdayaan dalam menyaring derasnya trend xenocentrisme ini.
Dilain sisi dengan mengemukanya produk seni import atau asing. Nuansa ini semakin berpengaruh didalam menghimpit napas gerak keleluasaan produk karya seni Indonesia untuk meraih perhatian maupun penghargaan atas karya seni tersebut. Selain itu pula telah mendorong ke suatu arah nuansa persaingan yang tidak seimbang dan bahkan lacurnya sering dimenangkan oleh produk budaya asing.
Akibat lanjut dari dominasi sikap xenocentrisme yang berlebihan, justru memupuk kemelorotan penghargaan masyarakat terhadap produk seni bangsa Indonesia. Sikap tersebut secara langsung ataupun tidak langsung telah merambah didalam diri sanubari masyarakat. Betapa tidak, hal ini dapat dibuka tabir penyelimutnya.
Realita menyodorkan bukti. Sekian banyak kaset lagu-lagu Indonesia tercecer atau tak ubahnya hanya menjadi penghias-penghias etalase toko kaset. Dengan rekor waktu terlama untuk dipajang, seperti terlupahkan atau dilupahkan oleh konsumen yang berhak menjadi penikmat dan pemiliknya. Realitapun masih dengan setia hendak membuktikan kepada kita, bahwa sekian banyak film-film Indonesia yang diputar pada bioskop-bioskop, dengan terpaksa tanpa dikomandoi mengalami kesepian penonton alias ditinggal publik penikmat. Mengapa hal ini harus terjadi? Jawaban sementara yang bisa kita lontarkan adalah, sebagai akibat dari keberpihakan dan kecenderungan sikap xenocentrisme dalam diri masyarakat terhadap karya seni Indonesia.
***
BERPIJAK pada jawaban tersebut dan paradigma diatas, kiranya dapat menghadirkan anggapan baru yang mampu meluruskan beberapa anggapan keliru dari masyarakat selama ini. Bahwa kualitas seni maupun mandeknya produk seni sebagai akibat menurunnya kreativitas seniman dan ketidakmampuan seniman untuk bersaing. Singkatnya, berbagai kemunduran yang terjadi pada bidang seni merupakan tanggungjawab dari para seniman itu sendiri. Dalam lintas ini masyarakat seakan-akan melepaskan tanggungjawabnya untuk memperhatikan dan mendukung setiap karya seni Indonesia. Tanpa berkehendak menyadari kondisi yang suram ini adalah juga merupakan bagian ulah sikapnya sendiri, yang justru mempermudah jalan menuju kemandekan proses perjalanan kemajuan perkembangan seni Indonesia. Pada noktah ini yang tampak adalah masyarakat telah menciptakan kebekuan bagi pekerja-pekerja seni dalam berkarya.
Keberhasilan suatu karya seni hingga menjadi populer dimata masyarakat. Sedikit banyak ditentukan pula oleh beberapa pilihan kemungkinan. Tidak ada pilihan lain kecuali tergantung dan ditentukan sepenuhnya oleh sikap masyarakat untuk menghargai karya seni tersebut. Pantulan kelambanan perkembangan karya seni yang bermutu, sesungguhnya juga lebih banyak ditentukan oleh sikap masyarakat terhadap produk seni tersebut didalam menghargai setiap produk karya seni bangsanya. Ringkas kata, mati hidupnya, maju tidaknya karya seni Indonesia sepenuhnya ada didalam genggaman tangan masyarakat.
Walaupun secara gamblang dan jujur dapat dinilai serta dikatakan berjalan datar-datar saja, namun eksistensi serta perkembangannya setidak-tidaknya untuk masa yang akan datang sangat perlu dihindari. Hal ini bisa terlaksana bila kita telah berpihak kepada harapan agar karya seni Indonesia mampu menyodorkan sesuatu nilai kenikmatan yang terbaik dan bernilai tinggi dalam berkarya.
Meskipun mengemukanya xenocentrisme yang juga merupakan bagian dari arus mode budaya modern. Namun kelangsungannya patut mendapat prioritas untuk segera dibendung. Paling tidak harus diambil sikap maupun langkah yang tepat, guna menghindari semakin meluasnya budaya tersebut pada generasi kita di masa mendatang.
Jika tidak, siapa lagi yang wajib dilimpahkan dan dibebankan tanggungjawab guna meningkatkan penghargaan terhadap karya seni bangsanya. Kepada siapa lagi yang harus mendukung dan paling bertanggungjawab menciptakan kemulusan perkembangan karya seni. Kalau bukan masyarakatnya sendiri. Apakah kita harus terus menutup mata menjumpai sikap xenocentrisme? (*) Edmundus GMS Sadipun, Penikmat Seni.
( Penulis: Edmundus Gabriel Moan Subu Sadipun, Artikel ini pernah dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Edisi Minggu 3 Oktober 1993, Hal.8 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar