Laman

MENGASAH PEDULI, MERAJUT OPINI
www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - Selamat Datang di BLOG kami - www.subusadipun.blogspot.com

Kamis, 11 April 2013

Menang Pilkada, Antara Rekayasa DPT dan Manipulasi Suara




Menang Pilkada, Antara Rekayasa DPT dan Manipulasi Suara
*)Sebuah catatan pinggir : jelang Pilkada Sikka putaran II

Sungguh beragam Modus Kecurangan dalam Pilkada yang dapat dilakukan, mulai dari permainan rekayasa DPT hingga Serangan Fajar. Ada tengara bahwa kecurangan selalu mewarnai pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), meliputi pemilihan kepala daerah (bupati/wali kota/gubernur), legislatif, atau presiden. Benarkah anggapan itu?

Ketika menyetuh soal pemilu yang jujur, untuk hal demikian nanti dulu. Memang agak rumit ketika mencermati sejumlah pelaksanaan pemilu. Pasalnya dari banyak pengalaman, itu realitanya sudah tertata sejak awal dan sudah ada orderan.

Ringkas kata, bahwa proses pemilu di Indonesia, yang dianggap sudah demokratis, ternyata telah di-setting sejak awal masa pra coblosan.

Tahapannya, yang kali pertama dilakukan ialah merekayasa Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tahap ini sangat penting. Ibaratnya, membentuk lapangan tempur sesuai dengan keinginan pemesan.

DPT Rawan
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengkondisikan DPT sedemikian rupa. Pertama, mengacak dan memecah pemilih sehingga seseorang justru terdaftar di TPS yang jauh dari rumahnya. Harapannya, banyak orang yang malas mencoblos. Ini berarti ada banyak sisa surat suara yang tak terpakai dan bisa dicoblos sendiri sesuai dengan keinginan pemesan.

Kedua, menambahkan ghost voters atau pemilih siluman. Ada bermacam cara yang sering dipakai. Misalnya tidak menghapus daftar orang yang sudah meninggal, pindah, atau yang masih di bawah umur dalam DPT.  Masih ada juga cara paling vulgar, yakni menambahkan nama yang benar-benar fiktif. Jumlahnya bisa dibuat sesuka hati, tapi biasanya disesuaikan dulu dengan densitas (kepadatan) dan demografi penduduk. Kasarannya, bila ada daerah yang sepi, tentu saja tidak akan ditambahkan ghost voters yang banyak, karena pasti kentara.

Ketiga, menghilangkan nama dari DPT dengan memanfaatkan kekacauan sistem administrasi kependudukan. Tujuan penghilangan nama tentu saja merusak dan menggembosi basis lawan. Misalnya, yang berbuat curang adalah paket X dan ingin mencurangi paket Y. Maka, DPT di basis daerah Y bakal dikepras dan menimbulkan efek frustrasi yang berdampak cukup kuat.

Meski sistematis, tetap saja pemesan tak ingin vulgar. Untuk mengurangi kemungkinan vulgar tersebut, perlu ada riset mengenai hasil pileg, pilpres, serta pemetaan kekuatan. Sehingga tinggal disesuaikan dengan petanya. Sudah ada plotting wilayah dari tim hitung-hitungan partai, diserahkan, dan langsung digarap oleh panitia pemilu yang ada, kemudian disebar merata.

Pemerataan DPT yang hendak dimainkan penting juga. Sebab, tambahan suara yang akan dibetot juga tidak akan banyak per Tempat Pemungutan Suara (TPS). Rata-rata 10-15 yang akan dicuri di tiap TPS. Jumlahnya kecil memang. Namun, kalau dikalikan dengan ribuan jumlah TPS yang ada di suatu kota, jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu.

Kecurangan dapat langgeng karena sosialisasi oleh KPU lebih sering sekadar menempelkan DPS dan DPT di kantor kelurahan atau desa. Kenyataanya, jarang ada warga yang berkehendak datang ke kantor kelurahan atau desa guna memeriksa DPT. Kalaupun ada, asal sudah melihat namanya, dan mungkin nama segelintir temannya, hampir pasti orang itu tak mungkin mencermati DPT secara detail lagi.

Praktis, pengawasan DPT memang harus lahir dari eksternal atau tim pemenangan pasangan calon. Namun di lain dimensi, tim pemenangan biasanya lebih sibuk mengurus kampanye, bukan mencermati satu per satu daftar nama yang berisi ribuan bahkan ratusan nama itu.

Mengakui bahwa masyarakatlah yang seharusnya aktif memantau DPT. Sebab, KPUD hanya melakukan pengesahan DPT yang ditetapkan PPS. Maka pada kondisi ini masyarakat perlu dihimbau agar lebih aktif memantau. Jelasnya, bahwa sortiran nama atau pemutakhiran data memang tak dilakukanKPUD. Tetapi hanya dilakukan petugas pemutakhiran data pemilih (P2DP) dan PPS.

Selain mempermainkan DPT, modus kecurangan lainnya ialah merekayasa undangan coblosan. Banyak undangan coblosan yang tidak disampaikan kepada warga, tapi per TPS. Jumlahnya tidak besar. Antara lima sampai sepuluh undangan. Ini yang akan dicoblos sendiri. Jumlahnya memang terkesan kecil. Tapi, dari modus undangan saja, bisa terkumpul sekitar 50 ribu tambahan suara, dengan asumsi jumlah TPS mencapai 5 ribu titik.

Serangan Fajar
Selain itu, bentuk kecurangan pra coblosan lain yang sering terjadi adalah serangan fajar. Ini adalah istilah untuk menyebut pembagian uang atau sembako menjelang coblosan. Tempat sasaran operasi pun tidak diambil secara acak, tapi dipilih dari hasil survei. Hasil pemetaan survei memang menyebutkan daerah-daerah mana saja yang memungkinkan dan urgent untuk dilakukan politik uang (money politics) tersebut. Istilahnya di tingkatan operator adalah smart money atau uang yang dibagikan secara cerdas.

Tapi, pelaksanaannya tidak sesederhana yang sering disebutkan orang selama ini. Operator tidak begitu saja datang dan membagikan uang seraya berteriak "pilih yang ini ya". Ada cara yang halus, misalnya saat coblosan. Untuk yang satu ini, operator biasanya punya kenalan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

Oknum KPPS itulah yang memberikan informasi tentang nama-nama warga yang belum mencoblos hingga mendekati penghitungan suara di TPS. Nama-nama tersebut yang dijadikan sebagai sasaran politik uang. Si operator lantas mendatangi rumah yang bersangkutan dan langsung menawarkan uang untuk mencoblos.

Selain cara itu, ada pula langkah lain yang terkesan intimidatif. Preman (baca:operator) mendatangi pemilih yang telah terdaftar dalam DPT, lantas menawarkan alternatif. Pilih calon kami dapat uang Rp. 100 ribuan (jumlahnya bisa berbeda-beda) atau tak pilih anda bisa sengsara. Si operator, memastikan kepada mereka bahwa hanya di tempat ini yang didatanginya. Lantaran dibawa tekanan dan ketakutan, warga (baca:pemilih) tersebut akhirnya memang mencoblos sebagaimana yang diminta oleh operator. Padahal, operator tersebut sejatinya berkeliling dari rumah ke rumah di kampung itu dan mengatakan hal yang sama.

Retan di TPS
Noktah penting dalam pemilu adalah momen ketika di TPS. TPS adalah wilayah paling rentan terjadi main-main. Namun, bila permasalahan di TPS sudah beres, akan lebih mudah melakukan perbaikan data jika ditemukan kecurangan.

Modus pertama kecurangan di TPS adalah pencoblosan sendiri yang dilakukan oknum KPPS. Kecurangan di TPS selalu melibatkan KPPS dan tak mungkin dilakukan satu oknum saja. Minimal tiga petugas TPS yang terlibat. Tak mungkin main sendirian karena terlalu berisiko. Bila ada indikasi satu anggota KPPS curang, pasti temannya sesama KPPS di sana juga terlibat.

Dengan memanfaatkan undangan yang tak disebar atau sudah mengincar sejumlah surat suara yang telah "dipesan", KPPS pun akan mencoblosnya sendiri. Pencoblosan itu dilakukan sendiri oleh KPPS saat jeda istirahat antara selesainya proses coblosan dan akan masuknya penghitungan suara. Jadi, saksi harus mengawasi semua anggota KPPS saat jeda atau makan. Karena itu sangat penting.

Modus kedua biasanya terjadi saat masa penghitungan suara atau ketika anggota KPPS menuliskan perolehan suara di kertas plano besar (formulir/form C2). Juru tulis biasanya memanfaatkan kelengahan saksi saat pembacaan hasil. Sebab, biasanya saksi terpaku pada calon yang dia bela saja. Jadinya, mudah saja menambahkan suara ke lawan.

Modus yang ketiga adalah penyusunan berkas acara (mengisi form C1). Form C1 inilah yang memegang peran krusial. Sebab, kelak dalam rekapitulasi di tingkat panitia pemilihan kecamatan (PPK) hingga KPU, berkas form C1 itulah yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung, bukan surat suara. Di form tersebut terdapat data mengenai jumlah surat suara, surat suara sah, surat suara tidak sah, hingga sisa surat suara. Sering kali sisa surat suara bisa dikurangi sehingga ada tambahan puluhan atau ratusan surat suara yang bisa di-entry untuk memenangkan salah satu calon.

Rekapitulasi dari TPS hingga KPU
Momentum Rekapitulasi merupakan noktah “mendulang suara”, setelah "bermain-main" di DPT dan TPS. Kiatnya ialah menyiasati habis-habisan mekanisme rekapitulasi yang ada.

Alur prosesnya. Dari TPS, rekap suara langsung dilakukan di PPK (tingkat kecamatan). Namun, entry data dilakukan PPS (petugas setingkat kelurahan). Entry data itu dilakukan dengan melihat C1 dan membuka kertas plano penghitungan. Dalam pelaksanaannya, entry data tersebut dilakukan secara manual di komputer, sebelum hasil rekapitulasi per PPS dipaparkan untuk penyusunan C1 di tingkat kecamatan.

Dengan mekanisme seperti itu, banyak penyiasatan yang dapat terjadi. Modus pertama, KPPS bekerja sama dengan PPS. Setelah penghitungan suara di tingkat TPS kelar, anggota KPPS langsung menghubungi anggota PPS dan menyebutkan telah melakukan penambahan sisa surat suara misalnya. Maka, anggota PPS yang sudah ikut bermain langsung menyiapkan plano pengganti yang sesuai dengan form C1 akal-akalan dari TPS tersebut. Plano asli dari TPS dibuang dan sudah disiapkan kertas plano baru untuk rekap di tingkat PPK.

Modus kedua, adalah saat entry data. Petugas entry data kadang asal memasukkan angka. Pernah terjadi, beralasan mengantuk, seorang petugas entry data memasukkan angka yang berbeda.

Kelemahan modus ketiga ialah langsung memasukkan data ngawur. Misalnya, di tingkat PPK tiba-tiba jumlah surat suara yang tidak sah menurun. Sebagai misal 5 ribu jadi 4 ribu. Ke mana sisanya?. Tim sukses pun pasti kelabakan mengeceknya karena harus membuka satu-satu lagi data per TPS. Belum kelar mengecek, tiba-tiba proses sudah selesai dengan alasan waktu. Pihak KPU atau PPK tinggal mempersilakan tim pemenangan yang tak puas untuk melapor ke Panwas. Lantas, apa reaksi Panwas? Karena sudah begitu banyak kasus serupa yang menumpuk, tentu saja ada keterbatasan Panwas untuk mengatasinya. Maka, selanjutnya tinggal tugas KPU memplenokan dan mengesahkan hasil pemilu yang sudah by order tersebut.

Menariknya,  adalah perkataan bahwa tujuan berbagai kecurangan tersebut bukanlah mencuri suara sebanyak-banyaknya. Namun hanya mencocokkan setting suara yang sudah dibuat sebelumnya, kemudian diorderkan ke KPU, entah bagaimana caranya, agar hasilnya sesuai dengan itu. Jadi bukan hanya mencuri suara. Levelnya sudah mengatur. Karenanya, tak heran bila sebenarnya sudah ada sejumlah alternatif hasil rekapitulasi sehingga tinggal dicocokkan saja.

Pada noktah ini, yang menarik adalah kekuatan macam apa yang bisa memacu kecurangan sistematis tersebut? Tentunya yang memiliki banyak uang dan mempunyai banyak koneksi. Sebab, tak mudah dan tak murah menggerakkan aparat pemilu untuk berpihak dan mau mencocokkan dengan skenario yang telah disusun.

Pemesan pemilu biasanya sudah membawa skenario yang juga didasarkan pada kondisi riil. Misalnya, dalam Pilkada ada lima pasangan calon yang berlaga. Kemudian, dilihat dua yang terkuat. Order yang muncul biasanya adalah menang dengan suara tipis. Bisa dibuat 32 persen banding 30 atau 31 persen, supaya tidak mencurigakan.

Jika mencermati proses seperti itu, maka pemilu bukan lagi ajang bagi masyarakat untuk memilih siapa calon yang dibutuhkannya guna memimpin lima tahun mendatang. Tetapi, hanya pengesahan kekuatan besar yang hendak berkuasa dengan cara-cara yang tak patut.

Dalam konteks dan dimensi agar pelaksanaan Pilkada Sikka tidak dicederai dan ternoda. Pilihannya adalah patut diawasi, jangan biarkan Pilkada Sikka putaran II menjadi sebuah permainan akal-akalan politik. Tulisan ini jauh dari maksud mendelegitimasi siapa pun maupun bermaksud mengedepankan bahwa kecurangan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Sejatinya tulisan ini bertujuan agar masyarakat ikut berpartisipasi memantau sehingga Pilkada Sikka putaran II dapat berlangsung Jujur, Adil, Bersih dan Demokratis.
(Edmundus GMS Sadipun/dari berbagai sumber)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar