Di Indonesia, Reggae hampir selalu diidentikkan dengan Rasta.
Padahal sesungguhnya Reggae dan Rasta adalah
dua hal yang berbeda. "Reggae adalah nama genre musik, sedangkan Rasta
atau singkatan dari Rastafari adalah sebuah pilihan jalan hidup, way of life
Ada stigma yang melekat dalam filosofi Rasta pada diri para penggemar
musik reggae. Di Indonesia penggemar musik reggae, seringkali salah
kaprah disebut Rastafarian, yang mana diidentikkan dengan pengisap ganja dan
bergaya hidup semaunya, tanpa tujuan. Padahal, filosofi Rasta sesungguhnya
justru mengajarkan seseorang hidup bersih, tertib, dan memiliki prinsip serta
tujuan hidup yang jelas. Penganut Rasta yang sesungguhnya menolak minum
alkohol, makan daging, dan bahkan mengisap rokok. Hal demikian nampak dalam keseharian para
anggota The Wailers (band asli Bob
Marley) tidak ada yang merokok. Merokok menyalahi ajaran Rastafari.
Tidak semua penggemar reggae adalah penganut Rasta. Demikian pula sebaliknya, tidak semua
penganut Rasta harus menyenangi lagu Reggae. Reggae diidentikkan dengan Rasta
karena Bob Marley— sang pembawa genre musik tersebut ke dunia adalah seorang
penganut Rasta.
Salah satu bukti bahwa komunitas reggae di Indonesia sebagian
besar belum memahami ajaran Rastafari adalah tidak adanya pemahaman terhadap
hal-hal mendasar dari filosofi itu. Banyak yang tidak mengenal tentang Marcus
Garvey dan Haile Selassie. Padahal keduanya adalah tokoh utama ajaran rastafari.
Pemusik Tony Q Rastafara pun mengakui, meski ia menggunakan
embel-embel nama Rastafara, tetapi dia bukan seorang penganut rasta. Tony
mencoba memahami ajaran Rastafari yang menurut dia bisa diperas menjadi satu
hakikat filosofi, yakni cinta damai. Tegasnya, yang saya ikuti cuma cinta damai.
Namun, meski tidak memahami dan menjalankan seluruh filosofi
rastafari, para penggemar dan pelaku reggae di Indonesia mengaku mendapatkan
sesuatu di balik musik yang mereka cintai itu. Biasanya, dimulai dari
menyenangi musik reggae dan maupun lirik lagu-lagunya, para penggemar ini
kemudian lantas mulai tertarik mempelajari filosofi dan ajaran yang ada di
baliknya.
Pengakuan lain datang dari Hendry Moses Billy, gitaris grup
Papa Rasta asal Yogya, yang mengakui musik reggae justru semakin menguatkan
kebenciannya terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang. Setiap
ditilang polisi, ia lebih memilih berdebat daripada "berdamai". Masalahnya
bukan pada uang, tetapi praktik seperti itu tidak adil.
Sementara Steven mengaku sejak menggeluti musik reggae dirinya
menjadi lebih bijak dalam memandang hidup. Musik reggae, terutama yang
dipopulerkan Bob Marley, menurut Steven, mengajarkan perdamaian, keadilan, dan
antikekerasan. Kata dia, menjadikan kami memberontak terhadap ketidakadilan,
tetapi tidak antikemapanan. Kalau reggae tumbuh, maka di Indonesia tidak akan
ada perang. Indonesia akan tersenyum dengan reggae.
Nyaris senada dengan Steven, dua orang pemusik reggae asal
Bali, Sila dan Joni menegaskan, seorang rasta sejati tidak harus identik dengan
penampilan ala Bob Marley. Rasta sejati itu ada di dalam hati.
(Edmundus GMS Sadipun/dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar