Laman

MENGASAH PEDULI, MERAJUT OPINI
www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - - www.subusadipun.blogspot.com - Selamat Datang di BLOG kami - www.subusadipun.blogspot.com

Minggu, 01 Juli 2012

Antara Reggae dan Rasta


Di Indonesia, Reggae hampir selalu diidentikkan dengan Rasta.  Padahal sesungguhnya Reggae dan Rasta adalah dua hal yang berbeda. "Reggae adalah nama genre musik, sedangkan Rasta atau singkatan dari Rastafari adalah sebuah pilihan jalan hidup, way of life
Ada stigma yang melekat dalam filosofi Rasta pada diri para penggemar musik reggae.  Di Indonesia  penggemar musik reggae, seringkali salah kaprah disebut Rastafarian, yang mana diidentikkan dengan pengisap ganja dan bergaya hidup semaunya, tanpa tujuan. Padahal, filosofi Rasta sesungguhnya justru mengajarkan seseorang hidup bersih, tertib, dan memiliki prinsip serta tujuan hidup yang jelas. Penganut Rasta yang sesungguhnya menolak minum alkohol, makan daging, dan bahkan mengisap rokok.  Hal demikian nampak dalam keseharian para anggota The Wailers (band asli Bob Marley) tidak ada yang merokok. Merokok menyalahi ajaran Rastafari.
Tidak semua penggemar reggae adalah penganut Rasta.  Demikian pula sebaliknya, tidak semua penganut Rasta harus menyenangi lagu Reggae. Reggae diidentikkan dengan Rasta karena Bob Marley— sang pembawa genre musik tersebut ke dunia adalah seorang penganut Rasta.
Salah satu bukti bahwa komunitas reggae di Indonesia sebagian besar belum memahami ajaran Rastafari adalah tidak adanya pemahaman terhadap hal-hal mendasar dari filosofi itu. Banyak yang tidak mengenal tentang Marcus Garvey dan Haile Selassie. Padahal keduanya adalah tokoh utama ajaran rastafari.
Pemusik Tony Q Rastafara pun mengakui, meski ia menggunakan embel-embel nama Rastafara, tetapi dia bukan seorang penganut rasta. Tony mencoba memahami ajaran Rastafari yang menurut dia bisa diperas menjadi satu hakikat filosofi, yakni cinta damai. Tegasnya, yang saya ikuti cuma cinta damai.
Namun, meski tidak memahami dan menjalankan seluruh filosofi rastafari, para penggemar dan pelaku reggae di Indonesia mengaku mendapatkan sesuatu di balik musik yang mereka cintai itu. Biasanya, dimulai dari menyenangi musik reggae dan maupun lirik lagu-lagunya, para penggemar ini kemudian lantas mulai tertarik mempelajari filosofi dan ajaran yang ada di baliknya.
Pengakuan lain datang dari Hendry Moses Billy, gitaris grup Papa Rasta asal Yogya, yang mengakui musik reggae justru semakin menguatkan kebenciannya terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang. Setiap ditilang polisi, ia lebih memilih berdebat daripada "berdamai". Masalahnya bukan pada uang, tetapi praktik seperti itu tidak adil.
Sementara Steven mengaku sejak menggeluti musik reggae dirinya menjadi lebih bijak dalam memandang hidup. Musik reggae, terutama yang dipopulerkan Bob Marley, menurut Steven, mengajarkan perdamaian, keadilan, dan antikekerasan. Kata dia, menjadikan kami memberontak terhadap ketidakadilan, tetapi tidak antikemapanan. Kalau reggae tumbuh, maka di Indonesia tidak akan ada perang. Indonesia akan tersenyum dengan reggae.
Nyaris senada dengan Steven, dua orang pemusik reggae asal Bali, Sila dan Joni menegaskan, seorang rasta sejati tidak harus identik dengan penampilan ala Bob Marley. Rasta sejati itu ada di dalam hati.
(Edmundus GMS Sadipun/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar