Gerakan Orang Tua asuh dimaksudkan guna mendukung program wajib belajar 9 tahun. Secara khusus lebih diarahkan pada upaya untuk membantu anak-anak usia sekolah dan cacat yang karena ketidakmampuan pemilikan biaya pendidikan terpaksa berhenti. Ringkasnya,anak-anak yang berhak memperoleh orang tua asuh relatif berasal dari keluarga miskin dan tidak mampu, baik secara sosial maupun ekonomis. Sebagai suatu Gerakan Nasional untuk menopang kemapanan pelaksanaan kerja besar ini, pihak pemerintah menghimbau pada masyarakat atau keluarga yang mampu secara ekonomis agar bersedia menjadi orang tua asuh
Terlepas dari rangkaian maksud dan harapan yang mengasali Gerakan Orang Tua Asuh, sangat tepat jika dalam momentum awal pelaksanaannya dikedepankan sejumlah hal yang berada di balik kegiatan ini. Hal demikian bermuara pada lintas kehendak agar paling tidak gerakan ini akan bertepi dengan mampu meraih sukses serta hasil yang optimal.
Mencermati upaya Gerakan Orang Tua Asuh, sepintas kita akan dipertemukan pada noktah-noktah yang layak diletakkan sebagai sinyal kegiatan ini. Bahwa sesungguhnya dibalik kegiatan tersebut meskipun tidak kentara turut pula diikuti sejumlah dampak. Paling tidak memiliki sejumah pengaruh terhadap aspek sosial, psikologis serta perkembangan mental dari anak asuh.
***
BAGI anak-anak yang mendapat kesempatan ini akan merasa kurang ditantang untuk berani mengukir sukses bagi kehidupan masa depan. Persoalannya, gerakan ini hanya disasarkan guna menyukseskan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun bagi anak yang tidak mampu dan atau anak cacat. Jelas, masa depan yang menyangkut santunan biaya pendidikan bagi anak asuh dapat dikatakan tidak terlalu berat dan bermasalah. Hanya saja, pada lain tataran hal ini justru merupakan benang merah yang mampu menimbulkan dampak baru baginya.
Pertama, menguat keterpengaruhan yang mampu mengendorkan jiwa atau semangat perjuangan untuk mencapai masa depan. Lantaran komunias (baca:anak-anak) telah dininabobokan atau dihibur oleh suatu harapan akan masa depan yang lebih baik dari sekarang. Rincinya, hal yang menyangkut dana untuk biaya pendidikannya bukan merupakan tanggungjawabnya. Keinginan dan harapan untuk menyelesaikan sekolah (pendidikan) bukan merupakan tuntutan. Atau katakanlah sepanjang ada biaya untuk pendidikan ia pun dengan serta merta senantiasa terus mengikuti pendidikan.
Kedua, harus dipahami bahwa program wajib belajar praktis berjalan dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan sekolah menengah tingkat pertama. Masalah yang berkembang seterusnya adalah seusai naka asuh menyelesaikan wajib belajar 9 tahun. Anak asuh masih berkeinginan melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Apakah mantan anak asuh tersebut masih beroleh perhatian untuk melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi sehingga mampu mendukung masa depan dirinya? Ringkasnya, siapakah yang akan bertanggungjawab dan berhak membiayainya? Menjumpai kondisi yang demikian upaya untuk menata kesiapan mental dari anak asuh sangat pantas didahulukan. Bersebelah dengan dimensi tersebut, menuntut pula kepastian tuntutan dan periksa yang berasal dari penyelenggara program ini maupun para orang tua asuh.
Ketiga, bertolak dari suatu asumsi bahwa mereka yang bersedia menjadi orang tua asuh itu relatif berasal dari kota. Sebagai orang kota, tentunya telah dibekali oleh sejumlah muatan pola tingkah laku yang sangat suliit dipisahkan. Dalam konteks semacam ini tidak tertutup kemungkinan pada akhirnya anak asuh bakal terpengaruh oleh gaya hidup dan pola tingkah laku dari orang tua asuh.
***
SETURUT uraian tersebut dan menangkap pengaruhnya, layak diciptakan nuansa yang mampu menjalin kedekatan antara orang tua asuh dan anak asuh. Sebab, dengan kedekatan itu anak asuh bakal merasakan sentuhan perhatian yang diberikan oleh orang tua asuh tidak hanya sebatas dukungan dana bagi pendidikannya. Tetapi masih berkait erat dengan ikatan kekeluargaan yang tinggi antara orang tua asuh dan anak asuh.bagi anak asuh, tidak hanya merasa mendapat dukungan finansial semata tetapi dorongan semangat dari orang tua asuh secara langsung. Nuansa ini lebih komunikatif dan bernafas kekeluargaan yang sangat tinggi dan mulia.
Mengikuti rangkaian paparan permasalahan tadi sesungguhnya sangat layak mendapat perhatian serius sekaligus butuh langkah upaya antisipatif dari pihak yang paling berkompeten. Jelasnya, agar masa mendatang hal-hal tadi mampu ddihindari, sehingga tidak akan mempengaruhi perkembangan masa depan anak asuh. Sejumlah dampak yang bakal mendampingi langkah pelaksanaan Gerakan Orang Tua Asuh itu secara bertahap dan pasti harus ditepiskan.
(Penulis: Edmundus Gabriel Moan Subu Sadipun. Artikel ini pernah dimuat pada Halaman Opini, SKH. Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Senin, 3 Juni 1996, Hal.4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar